loading...
Sudarsono Soedomo, Guru Besar Ekonomi Kehutanan dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB). Foto/Istimewa
Prof. Dr. Ir. Sudarsono Soedomo, M.Sc.
Guru Besar Ekonomi Kehutanan dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB)
INDONESIA gemar berbicara tentang pembangunan berkelanjutan. Seminar demi seminar digelar, dokumen kebijakan diproduksi, dan jargon hijau diulang tanpa lelah. Namun ada satu pertanyaan mendasar yang jarang diajukan secara jujur: apakah kapal bernama Indonesia ini masih dalam posisi layak berlayar?
Secara administratif, sekitar dua pertiga daratan Indonesia diklaim sebagai kawasan kehutanan. Sisanya—hanya sepertiga—harus menampung seluruh kebutuhan hidup 280 juta manusia: pemukiman, pertanian pangan, perkebunan, industri, infrastruktur, dan ruang sosial lainnya. Ini bukan sekadar soal tata ruang, melainkan soal ketimpangan struktural dalam pembagian beban ruang hidup.
Ironisnya, sektor kehutanan yang menguasai dua pertiga daratan tersebut menyumbang kurang dari satu persen terhadap Produk Domestik Bruto. Tentu akan segera muncul sanggahan klasik: hutan memberi jasa lingkungan yang tidak tercermin dalam GDP. Pernyataan ini benar, tetapi sering dipakai secara tidak jujur. Jasa lingkungan yang besar tidak otomatis membenarkan penguncian ruang hidup manusia secara masif, apalagi jika kapasitas negara untuk mengelolanya sendiri sangat terbatas.
Akibatnya, jutaan manusia “dipadatkan” secara sistemik di sepertiga ruang nasional. Kepadatan ini lalu melahirkan masalah turunan: konflik lahan, tekanan lingkungan, kemiskinan struktural, hingga bencana yang kemudian ditafsirkan sebagai kesalahan moral manusia semata. Seolah-olah masalahnya adalah kerakusan individu, bukan desain sistem.
Bayangkan Indonesia sebagai sebuah kapal. Dua pertiga ruang kapal diklaim sebagai area khusus yang tidak boleh disentuh, sementara seluruh penumpang dan muatan dipaksa menumpuk di satu sisi. Kapal seperti ini tidak perlu badai besar untuk celaka—cukup gelombang sedang saja sudah membuatnya oleng.
Ekonom lingkungan Herman Daly pernah menggunakan metafora Plimsoll mark, tanda batas aman muatan kapal. Pasar, kata Daly, sangat pandai mengatur distribusi muatan di dalam kapal—harga bekerja efisien mengatur siapa mendapat apa. Tetapi pasar sama sekali tidak memberi tahu kita kapan kapal itu kelebihan muatan. Ia tidak mengenal batas skala.


















































