Politik Disinformasi dan Gangguan Perhatian Kolektif

1 week ago 8

loading...

Taufiq Fredrik Pasiak, Ilmuwan Otak dan Dekan Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta. Foto/Dok.Pribadi

Taufiq Fredrik Pasiak
Ilmuwan Otak dan Dekan Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta

KITA hidup di zaman yang aneh. Informasi datang seperti hujan badai, tapi kesadaran publik justru makin keruh. Bukan karena kurang data, tapi terlalu banyak, terlalu cepat, dan terlalu kacau. Distraksi (mudah teralih perhatian) menjadi tanda kekacauan.

Inilah era kelelahan informasi. Dalam situasi seperti ini, perhatian publik adalah komoditas paling berharga. Dan ketika perhatian jadi rebutan, maka pengalihan isu dan disinformasi menjadi alat paling efektif untuk mempertahankan kekuasaan.

Disinformasi hari ini bukan sekadar berita palsu. Ia adalah strategi. Dirancang dengan presisi, dibungkus dalam lelucon, diunggah lewat akun anonim, disebar oleh algoritma, dan diterima oleh jutaan orang dalam hitungan detik.

Isinya bisa ringan, bisa lucu, bisa bikin marah, tapi tujuannya sama: mengalihkan, membelokkan, menenggelamkan yang penting. Ketika masyarakat seharusnya membahas ketimpangan, harga pangan, atau korupsi, yang muncul di linimasa justru selebritas, prank politik, dan drama yang tak penting tapi memancing emosi.

Dalam politik Indonesia, pola ini sangat nyata. Setiap kali menjelang pemilu, krisis nasional, atau isu kebijakan besar, ruang digital dipenuhi kabut. Bukan kabut udara, tapi kabut perhatian.

Berdasarkan laporan Yusof Ishak Institute (Issue 7, 2022) berjudul "Cybertroops, Online Manipulation of Public Opinion and Co-optation of Indonesia’s cybersphere" (Yatun Sastramidjaja & Wijayant), pola penyebaran disinformasi di Indonesia meningkat tajam menjelang pemilu, saat terjadi krisis nasional, atau ketika pemerintah menghadapi tekanan politik.

Studi ini mengungkap bahwa tim siber yang terorganisir -sering disebut cybertroops- secara aktif menyebarkan konten yang memanipulasi opini publik melalui media sosial.

Taktik yang digunakan mencakup menyebarkan informasi menyesatkan, memperkuat narasi yang menguntungkan kelompok tertentu, serta menciptakan kebisingan digital agar isu-isu penting tenggelam.

Praktik ini bukan hanya menciptakan kebingungan, tetapi juga mengikis kemampuan publik untuk berpikir kritis, memperlemah partisipasi bermakna, dan pada akhirnya menjadi ancaman serius bagi kualitas demokrasi di Indonesia. Hoaks bukan cuma muncul dari kubu politik, tapi juga dari konten viral yang tampaknya apolitis.

Read Entire Article
Patroli | Crypto | | |