Di Balik Amarah Massa Gelombang Protes Anti-Imigran Global

2 days ago 9

loading...

Abdul Kodir, Dosen Sosiologi Universitas Negeri Malang. Foto/Dok.Pribadi

Abdul Kodir
Dosen Sosiologi Universitas Negeri Malang

DARI jalanan London yang basah, Alun-alun di Sydney yang terik, hingga persimpangan Tokyo yang ramai, sebuah gelombang amarah yang sama tengah meluap. Puluhan ribu warga biasa turun ke jalan, meneriakkan satu pesan yang sama: “Tutup Pintu!”.

Demonstrasi anti-imigran yang meledak di Inggris, Australia, dan Jepang bukanlah kebetulan. Ini adalah gejala dari tiga tsunami sosial-ekonomi yang tak terlihat namun dampaknya sangat terasa, yang kini telah mencapai titik didih.

Tsunami Pertama: Ekonomi di Titik Nadir

Pemicu pertama dan paling mendasar dari gelombang protes ini adalah kecemasan ekonomi yang semakin meresahkan. Gaji yang tak lagi bisa mengejar kenaikan harga kebutuhan pokok telah menyalakan sumbu amarah di dapur-dapur warga biasa. Setiap hari, semakin banyak yang merasakan ketidakmampuan ekonomi sebagai dampak langsung dari ketidakseimbangan antara upah dan biaya hidup.

Di Inggris, janji manis pasca-Brexit tentang kemakmuran ternyata tak terwujud. Sebaliknya, inflasi pangan yang terus merangkak, yang masih berada di atas 5.1%, membuat tagihan belanja keluarga semakin membengkak (Officer for National Statistic, 2025). Ketika upah riil seakan berjalan di tempat, angka imigrasi yang terus meningkat, dengan catatan rekor 764.000 orang pada tahun 2022, menambah tekanan. Masyarakat, khususnya kelas pekerja, semakin mempertanyakan: “Jika negara ini tak bisa mengurus warganya sendiri, bagaimana bisa menampung ratusan ribu pendatang baru?.

Sementara itu, di Australia, masyarakat menghadapi krisis perumahan yang tak kalah memprihatinkan. Harga sewa yang melonjak gila-gilaan, sementara tingkat kekosongan properti mencapai titik terendah dalam sejarah, membuat generasi muda terjebak dalam siklus ketidakmampuan memiliki rumah. Ketika pemerintah melalui Australian Bureau of Statistics (ABS) mengumumkan bahwa lebih dari 518.000 imigran baru datang pada tahun 2023, narasi yang muncul di masyarakat bahwa “pendatang mengambil rumah kami” bukan lagi sekadar slogan. Itu adalah realitas yang terasa sangat menyakitkan bagi mereka yang setiap minggu ditolak saat mencari tempat tinggal.

Tsunami Kedua: Krisis Identitas Nasional

Tsunami kedua yang menyertai gelombang protes ini adalah krisis identitas nasional yang melanda banyak negara. Dalam dunia yang semakin terhubung, di mana perbatasan semakin kabur, banyak orang mulai merasakan bahwa “identitas mereka” sedang terkikis. Perubahan demografis yang cepat dan arus globalisasi yang deras membuat mereka merasa asing di negara mereka sendiri.

Read Entire Article
Patroli | Crypto | | |