loading...
Roro Ratih Dewanti, Mahasiswa Magister Komunikasi Korporat Universitas Paramadina. Foto/Dok Pribadi
Roro Ratih Dewanti
Mahasiswa Magister Komunikasi Korporat Universitas Paramadina
“Saya H. Mirwan MS, selaku Bupati Aceh Selatan, dengan segala kerendahan hati, menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas ketidaknyamanan, keresahan, dan kekecewaan banyak pihak...”
Beginilah penggalan permintaan maaf Bupati Aceh Selatan melalui akun Instagram pribadinya pada 9 Desember 2025. Namun yang justru mengemuka bukan pengakuan atas tindakan meninggalkan daerah saat bencana banjir dan longsor melanda rakyatnya, melainkan alasan-alasan yang menggeser substansi.
Alih-alih meminta maaf atas perbuatannya, Mirwan MS meminta maaf atas “ketidaknyamanan” publik. Alih-alih mengutamakan masyarakat Aceh Selatan sebagai penerima permohonan maafnya, Bupati lebih dulu menghaturkannya kepada Presiden, Mendagri, dan Gubernur Aceh.
Yang muncul bukanlah ketulusan, tetapi pembelaan terselubung. Yang terdengar dan terbaca bukan empati, tetapi retorika yang menjauh dari realitas warga.
Bukan kealpaan, kasus ini menjadi satu lagi ilustrasi, betapa lemahnya literasi komunikasi krisis sejumlah pejabat Indonesia, yang berdampak salah satunya: permintaan maaf yang tidak sungguh-sungguh meminta maaf.
Kronologi Bupati Umrah saat Bencana
Beberapa hari sebelum foto umrah viral, Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan secara resmi telah mengeluarkan Surat Pernyataan Ketidaksanggupan dalam penanganan tanggap darurat banjir dan longsor yang menerjang 11 kecamatan.
Bernomor 360/1315/2025, dokumen ditandatangani Mirwan MS. Surat pernyataan ini disebut menjadi langkah administratif strategis untuk mendorong percepatan penanganan bencana oleh Pemerintah Provinsi Aceh, di mana ketidaksanggupan menjadi syarat dari Pemerintah Provinsi Aceh dalam penetapan status darurat bencana.
Namun berselang hari, tepatnya 2 Desember 2025, Mirwan bersama istrinya justru berangkat umrah. Padahal Gubernur Aceh Muzakir Manaf telah menolak permohonan izin perjalanan luar negeri yang diajukan Mirwan.
Dituangkan dalam Surat Nomor 100.1.4.2/18413 tertanggal 28 November 2025, penolakan beralasan jelas: Aceh sedang berada dalam status tanggap darurat hidrometeorologi, termasuk Aceh Selatan yang status daruratnya ditetapkan oleh Mirwan sendiri.
Keputusan untuk tetap berangkat, meski telah dilarang, memperkuat persepsi publik bahwa ini bukan kelalaian administratif, melainkan pilihan sadar yang bertentangan dengan mandat moral seorang pejabat publik. Sorotan dan kritik publik pun tak terhindarkan. Gubernur Aceh disebut murka.
Partai Gerindra, tempat Mirwan bernaung, mencopotnya dari jabatan ketua DPC. Presiden Prabowo Subianto bahkan secara terbuka meminta Mendagri Tito Karnavian mencopot Mirwan dari jabatan Bupati Aceh Selatan dalam rapat koordinasi penanganan bencana di Lanud Sultan Iskandar Muda pada 7 Desember 2025. Kementerian Dalam Negeri kemudian memastikan Mirwan akan diperiksa inspektorat.
Dalam ruang publik, krisis ini mencapai puncaknya ketika foto-foto Mirwan dan istrinya di Tanah Suci beredar luas. Foto-foto awalnya diunggah oleh agen travel yang digunakan Mirwan dalam perjalanan umrahnya.
Kegagalan Dasar: Permintaan Maaf tanpa Mengakui Dosa
Struktur permintaan maaf Mirwan memperlihatkan tiga masalah fundamental: Pertama, tidak menyebut dan mengakui tindakan yang salah secara eksplisit. Bukan tindakan pergi di tengah bencana yang diakui, melainkan “ketidaknyamanan” publik seolah masalahnya terletak pada reaksi masyarakat, bukan tindakannya sendiri.


















































