Pentingnya Rumah Susun Lebih Luas untuk Keluarga Muda

23 hours ago 6

loading...

Hendrianto. Foto/Istimewa

Hendrianto
Lead Architect Hendrianto Architect

BICARA soal rumah, banyak orang masih melihatnya sebatas "atap pelindung" dari hujan dan panas. Padahal, rumah jauh lebih dari itu. Rumah adalah ruang tumbuh, tempat cerita keluarga terjalin, dan fondasi masa depan bangsa. Namun di tengah derasnya arus urbanisasi dan mahalnya harga lahan, banyak keluarga Indonesia akhirnya harus puas dengan rumah susun berukuran sempit, sering kali hanya memiliki satu atau dua kamar tidur.

Sekilas, ini mungkin terlihat wajar: yang penting ada tempat berteduh, sudah cukup. Tapi kalau kita mau jujur, kondisi ini menyimpan persoalan besar yang sering terabaikan. Di era sekarang, ketika isu mental health , work-life balance, dan kualitas pendidikan anak makin banyak dibicarakan, ukuran rumah ternyata memainkan peran penting.

Ruang Sempit, Mental Ikut Terjepit

Bayangkan sebuah keluarga muda di Jakarta atau kota besar lainnya. Orang tua bekerja dari rumah karena jadwal remote working masih berlaku sebagian. Anak-anak belajar daring atau harus mengerjakan tugas sekolah lewat laptop. Semua aktivitas itu terjadi dalam ruang sempit dua kamar.

Awalnya terasa bisa diatur. Tapi lama-lama, stres menumpuk. Orang tua tidak punya ruang pribadi untuk beristirahat atau berdiskusi. Anak remaja kehilangan privasi untuk menemukan jati diri. Suara dari ruang tamu bisa dengan mudah mengganggu konsentrasi belajar. Rumah, yang seharusnya jadi tempat pulang paling nyaman, justru berubah menjadi sumber tekanan.

Baca Juga: Daerah dengan Jumlah Rumah Susun Terbanyak di Jakarta, Berikut Urutannya

Fenomena ini sangat terkait dengan meningkatnya kesadaran akan kesehatan mental. Kita sering mendengar kampanye tentang pentingnya menjaga mental health, tetapi jarang membicarakan bagaimana faktor ruang hunian bisa memperburuk atau memperbaiki kondisi itu. Padahal, jika keluarga hidup dalam kondisi “terjepit”, potensi stres, konflik, hingga rasa lelah emosional akan makin tinggi.

Pembangunan rumah susun seharusnya mempertimbangkan dimensi psikologis penghuni, bukan sekadar efisiensi lahan. Mendesain unit dengan minimal tiga kamar tidur bukanlah kemewahan, melainkan strategi untuk menciptakan ruang aman bagi kesehatan mental keluarga. Hunian harus dilihat sebagai instrumen preventif terhadap masalah stres dan konflik rumah tangga.

Anak Butuh Ruang untuk Bermimpi

Kalau kita menengok ke masa kecil, mungkin kita masih ingat betapa berharganya punya ruang pribadi: kamar untuk belajar, untuk menempel poster idola, atau sekadar tempat curhat dengan diri sendiri. Itu semua bagian dari proses tumbuh.

Sayangnya, bagi banyak anak di rumah susun sempit, kesempatan itu hilang. Mereka harus berbagi ruang dengan orang tua atau saudara kandung. Tidak ada sudut tenang untuk membaca buku, menggambar, atau mengerjakan PR.

Padahal, di era digital sekarang, anak-anak menghadapi tantangan yang jauh lebih besar. Mereka harus bersaing di dunia yang sudah dipenuhi kecerdasan buatan, teknologi mutakhir, dan tuntutan global. Jika sejak kecil mereka sudah kesulitan menemukan ruang untuk belajar dengan fokus, bagaimana mungkin bisa tumbuh jadi generasi yang siap menghadapi dunia?

Pemerintah dan pengembang perlu memasukkan kebutuhan ruang anak dalam standar rumah susun. Tidak cukup hanya menghitung “jumlah kepala keluarga per unit”, tetapi harus ada perhitungan tentang fungsi ruang bagi tumbuh kembang anak. Minimal tiga kamar tidur berarti memberi anak kesempatan untuk punya ruang belajar dan ruang personal. Dengan cara itu, kita sedang menyiapkan generasi yang lebih siap menghadapi persaingan global.

Dari Rumah ke Ekonomi Nasional

Isu rumah sempit ini juga punya efek domino ke ranah yang lebih luas: perekonomian bangsa.

Read Entire Article
Patroli | Crypto | | |