6 Diktator yang Mencoba Menulis Ulang Masa Kecil Mereka Sendiri

12 hours ago 6

loading...

Saddam Hussein dikenal sebagai diktator yang menulis ulang masa kecil sendiri. Foto/X/@hahussain

LONDON - Para diktator jarang membiarkan masa kecil mereka tak tersentuh. Untuk memperkuat cengkeraman kekuasaan, banyak di antara mereka yang menulis ulang kehidupan awal mereka agar tampak sederhana, heroik, atau bahkan suci.

Mitos-mitos ini sering menggambarkan mereka sebagai gembala miskin, buruh yatim piatu, atau anak ajaib berbakat yang terlahir untuk memimpin. Kenyataannya, masa kecil mereka seringkali jauh lebih biasa—atau justru dilupakan begitu saja. Kisah-kisah asal-usul palsu ini bukan sekadar proyek kesombongan; melainkan alat politik yang digunakan untuk melegitimasi kendali dan menciptakan loyalitas.

6 Diktator yang Mencoba Menulis Ulang Masa Kecil Mereka Sendiri

1. Saddam Hussein

Melansir List Verse, sepanjang masa pemerintahannya, Saddam Hussein dengan cermat membangun versi mitologis masa kecilnya yang menekankan kemiskinan pedesaan dan penggembalaan di pinggiran Tikrit yang gersang. Biografi resmi, kurikulum sekolah, dan propaganda Ba'ath menggambarkannya sebagai seorang penggembala kambing yang tumbuh tanpa sepatu, mengembara di gurun dengan pakaian compang-camping. Narasi tersebut menggambarkannya sebagai anak tanah, yang ditempa oleh kesulitan dan dibentuk oleh lanskap Irak yang keras.

Asal usulnya yang sederhana diulang di media pemerintah dan diilustrasikan dalam mural dan monumen publik. Kenyataannya, masa kecil Saddam lebih kompleks. Ia memang menghabiskan waktu di Tikrit bersama keluarga besarnya. Namun, catatan sejarah menunjukkan bahwa pamannya, Khairallah Tulfah—seorang nasionalis taat dan mantan perwira militer—memainkan peran penting dalam membentuk pandangan politiknya. Saddam memiliki akses pendidikan dan dibesarkan dalam keluarga yang aktif secara politik.

Hubungannya dengan elit Arab Sunni dan awal masuknya ke dalam kancah politik Baghdad bertentangan dengan narasi seorang penggembala suku yang terisolasi. Citra penggembala baru dipromosikan secara gencar setelah Saddam meraih kekuasaan, sebagai bagian dari upaya yang lebih luas untuk tampak terhubung dengan penduduk pedesaan Irak. Identitas yang dikurasi ini memungkinkannya untuk menampilkan dirinya sebagai perwujudan ketahanan dan semangat kelas pekerja Irak.

Hal ini menjauhkannya dari para teknokrat dan intelektual berpendidikan Barat, yang memperkuat citranya sebagai pemimpin nasionalis yang membangun dirinya sendiri. Setelah jatuhnya rezimnya, banyak warga Irak yang terkejut melihat betapa dalamnya kisah tersebut telah terjalin dalam kehidupan publik—dari buku teks sejarah hingga lagu anak-anak.

Baca Juga: 5 Negara dengan Biaya Hidup Termurah, Salah Satunya Bisa Hidup Mewah dengan Rp149 Ribu

2. Joseph Stalin

Kehidupan awal Joseph Stalin di kota Gori, Georgia, diwarnai oleh kemiskinan, penganiayaan, dan penyakit. Semasa remaja, ia diterima di Seminari Teologi Tiflis, salah satu dari sedikit jalur pendidikan bagi anak laki-laki kelas bawah.

Catatan-catatan era Soviet menggambarkan masa-masanya di seminari sebagai masa belajar yang tenang, refleksi spiritual, dan kekecewaan bertahap terhadap agama. Biografi resmi menggambarkan Stalin sebagai mahasiswa brilian yang menolak ortodoksi demi ideologi revolusioner, seringkali menyiratkan bahwa ia meninggalkan sekolah atas kemauannya sendiri untuk bergabung dengan perjuangan Marxis. Dokumen-dokumen sejarah dan kesaksian pribadi melukiskan gambaran yang berbeda. Stalin adalah mahasiswa biasa-biasa saja yang sering berselisih dengan dosennya. Ia dikeluarkan bukan karena kebangkitan politiknya, melainkan karena sering absen, pembangkangan, dan kegagalan memenuhi standar akademik. Catatan sekolah tidak menunjukkan tanda-tanda awal kejeniusan ideologis.

Read Entire Article
Patroli | Crypto | | |