HNSI Dorong Pemerintah Pakai Teknologi Alternatif Bantu Nelayan

3 hours ago 1

loading...

Wakil Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Agus Suherman. Foto/Istimewa

JAKARTA - Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) mendorong pemerintah memakai teknologi alternatif dalam membantu nelayan . HNSI siap menampung semua aspirasi nelayan serta berkolaborasi dengan pemerintah dalam menyosialisasikan kebijakan.

Pasalnya, perhatian yang cukup serius dibutuhkan dalam rangka mengelola sumber daya ikan di Tanah Air. Wakil Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) HNSI Agus Suherman mengatakan bahwa mengelola perikanan tangkap di Tanah Air tidaklah mudah.

Hal itu mengingat adanya keberagaman dan kompleksitas dalam berbagai aspek, mulai dari sumber daya, teknis penangkapan, lingkungan, serta pemangku kepentingan yang juga beraneka rupa dengan segala aspirasinya.

“Kita harus telaten, banyak bersabar, banyak dialog dan diskusi. Oleh karena itu, Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) hadir menjadi jembatan, agar aspirasi itu bisa diartikulasikan dengan baik dan disampaikan kepada pemegang otoritas yaitu pemerintah," ujar Agus di Jakarta, Senin (21/4/2025).

“Pada saat yang sama HNSI selalu siap berkolaborasi dengan pemerintah untuk menyosialisasikan kebijakan-kebijakan kepada nelayan dan pelaku usaha perikanan yang pasti tujuannya baik dalam rangka transformasi tata kelola perikanan tangkap di Tanah Air,” sambungnya.

Hal tersebut menyikapi aksi unjuk rasa nelayan di sejumlah daerah terkait penolakan aturan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang mewajibkan penggunaan Vessel Monitoring System (VMS) atau perangkat monitoring sistem berbasis sinyal di kapal. Alasan penolakannya adalah karena biaya yang dianggap membebani para nelayan.

VMS merupakan perangkat pemantau berbasis sinyal yang berguna untuk melacak posisi kapal di laut. Hal ini merupakan upaya penting demi keberlanjutan pengelolaan laut. Agus menambahkan, terkait kewajiban pemasangan VMS atau Sistem Pemantauan Kapal Perikanan (SPKP) tersebut tertuang dalam aturan terkait seperti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5/2021, PP 27/2021, hingga PP 11/2023.

“Lalu pemerintah atas masukan dari banyak pihak, membuat transisi melalui Surat Edaran Menteri Kelautan dan Perikanan, khususnya untuk kapal ikan izin pusat hasil migrasi dari izin daerah karena beroperasi di atas 12 mil laut serta kapal ikan yang izinnya menjadi kewenangan Gubernur,” jelas Agus.

Agus melanjutkan, langkah tersebut sangatlah baik dan bijak. Artinya, pemerintah senantiasa hadir dan menangkap dinamika yang berkembang dan juga tantangan-tantangan yang masih ditemukan di lapangan.

"Salah satu tantangan yang selalu dikemukakan di lapangan terkait VMS adalah harganya yang masih dianggap terlalu mahal khususnya untuk kapal 5-30 GT. Kita tahu sebetulnya harga VMS tahun ini sudah jauh lebih murah dari tahun-tahun sebelumnya, tapi itu masih dianggap belum begitu terjangkau untuk sebagian nelayan dan pelaku usaha,” imbuhnya.

Maka itu, kata Agus, HNSI mendorong pemerintah untuk menggunakan teknologi VMS yang semakin murah, sehingga tidak memberatkan para nelayan di Tanah Air. “Untuk kapal ikan ukuran 5-30 GT barangkali tidak harus teknologi berbasis satelit seperti yang ada saat ini. Bisa menggunakan teknologi alternatif, yang penting fungsinya sama yaitu untuk memantau pergerakan kapal yang sangat bermanfaat untuk nelayan, pemilik kapal, dan pemerintah,” ujar Agus.

Dia menambahkan, tanpa VMS, apabila di laut yang luas sana terjadi hal yang tidak diinginkan seperti kecelakaan, maka tentu akan susah dicarikan posisinya sehingga upaya pertolongan tidak bisa segera. “Selanjutnya, apabila harga VMS semakin murah, misal di kisaran Rp 1-2 juta tanpa biaya air time, maka semakin tidak ada kendala lagi bagi pemilik kapal ukuran 5-30 GT untuk segera memasang VMS," pungkasnya.

(rca)

Read Entire Article
Patroli | Crypto | | |