Dianggap Bulan Sial, Benarkah Segala Bala dan Musibah Bakal Turun di Hari Rabu Terakhir Bulan Safar?

3 hours ago 3

loading...

Masyarakat jahiliyah, sering mengatakan bulan Safar adalah bulan sial, anggapan ini telah terkenal dan sisa-sisanya masih ada di kalangkan muslimin hingga saat ini, bahkan menganggap segala bala musibah akan turun ke bumi pada Rebo Wekasan. Foto ilustras

Dianggap bulan penuh kesialan, Rabu terakhir (wekasan) di bulan Safar atau bertepatan dengan 20 Agustus 2025 akan datang segala musibah ke muka bumi. Benarkah demikian?

Bulan Safar adalah bulan kedua dalam penanggalan hijriyah Islam. Sebagaimana bulan lainnya, harusnya merupakan bulan dari bulan-bulan Allah yang tidak memiliki kehendak dan berjalan sesuai dengan apa yang Allah ciptakan untuknya.

Namun, masyarakat jahiliyah kuno , termasuk bangsa Arab, sering mengatakan bahwa bulan Safar adalah bulan sial. Tasa'um (anggapan sial) ini telah terkenal pada umat jahiliyah dan sisa-sisanya masih ada di kalangkan muslimin hingga saat ini. Bahkan, sebagian orang ahli makrifat termasuk orang yang ahli mukasyafah mengatakan setiap tahun Allah menurunkan bala (bencana) yang berjumlah 320.000. Kesemuanya diturunkan pada hari Rabu yang terakhir di bulan Safar.

Abdul Hamid Quds adalah salah satu yang berpendapat demikian. Pendapat itu disampaikan dalam kitabnya Kanzun Najah Was-Surur fi Fadhail Al-Azminah wash-Shuhur. Oleh sebab itu, katanya, Rebo Wekasan akan menjadi hari terberat di sepanjang tahun.

Disebutkan, maka barang siapa yang melakukan salat 4 rakaat (nawafil, sunnah), di mana setiap rakaat setelah al-Fatihah dibaca surat al-Kautsar 17 kali lalu surat al-Ikhlash 5 kali, surat al-Falaq dan surat an-Naas masing-masing sekali; lalu setelah salam membaca doa, maka Allah dengan kemurahan-Nya akan menjaga orang yang bersangkutan dari semua bala bencana yang turun di hari itu sampai sempurna setahun.

Akan tetapi sebuah hadis dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam bersabda ,

"Tidak ada wabah (yang menyebar dengan sendirinya tanpa kehendak Allah), tidak pula ramalan sial, tidak pula burung hantu dan juga tidak ada kesialan pada bulan Shafar. Menghindarlah dari penyakit kusta sebagaimana engkau menghindari singa." (HR Imam al-Bukhari dan Muslim).

Ungkapan hadis laa ‘adwaa’ atau tidak ada penularan penyakit itu, bermaksud meluruskan keyakinan golongan jahiliyah, karena pada masa itu mereka berkeyakinan bahwa penyakit itu dapat menular dengan sendirinya, tanpa bersandar pada ketentuan dari takdir Allah .

Baca juga: Rebo Wekasan, Asal-usul dan Hukum Amalannya Menurut Islam

Sakit atau sehat, musibah atau selamat, semua kembali kepada kehendak Allah. Penularan hanyalah sebuah sarana berjalannya takdir Allah. Namun, walaupun keseluruhannya kembali kepada Allah, bukan semata-mata sebab penularan, manusia tetap diwajibkan untuk ikhtiar dan berusaha agar terhindar dari segala musibah. Dalam kesempatan yang lain Rasulullah bersabda: “Janganlah unta yang sakit didatangkan pada unta yang sehat”.

Maksud hadis laa thiyaarata atau tidak diperbolehkan meramalkan adanya hal-hal buruk adalah bahwa sandaran tawakkal manusia itu hanya kepada Allah, bukan terhadap makhluk atau ramalan. Karena hanyalah Allah yang menentukan baik dan buruk, selamat atau sial, kaya atau miskin.

Read Entire Article
Patroli | Crypto | | |