Muruah Hukum

9 hours ago 1

loading...

Romli Atmasasmita. Foto/Istimewa

Romli Atmasasmita

HUKUM dalam pengertian yang bersifat abstrak dipahami sebagai sarana menuju cita keadilan dan untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan adanya kepastian hukum agar dapat memberikan manfaat terbesar bagi masyarakat. Di sisi lain, pengertian hukum dalam arti konkret/nyata dipahami sebagai suatu realita yang penuh dengan ketidakkepastian, ketidakadilan, dan bahkan diragukan kemanfaatannya sampai saat ini. Dalam perkataan lain, hukum dalam realita kehidupan masyarakat tampak lebih banyak mudarat dari kemaslahatannya bagi masyarakat, sedangkan fungsi hukum adalah menjaga ketertiban dan keteraturan kehidupan masyarakat yang tidak dapat ditawar-tawar lagi alias harga mati.

Namun demikian, hukum dalam realita selalu berada di dalam dan dipengaruhi kekuasaan . Kekuasaan menggunakan hukum sebagai sarana untuk mencapai tujuan menciptakan kepastian dan keadilan serta kemanfaatan untuk kepentingan pribadi atau sekelompok orang, tetapi bukan untuk tujuan-tujuan dimaksudkan untuk kepentingan masyarakat luas. Hukum tidak sekali-kali digunakan untuk tujuan kepentingan sepihak/individualistik dan menegasikan kepentingan pihak lain secara subjektif. Hukum di dalam genggaman dan di bawah pengaruh kekuasaan hanya dipergunakan untuk tujuan yang bertentangan dengan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan masyarakat luas.

Sering kita mendengar sinisme masyarakat yang mengatakan bahwa hukum tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas, politisasi hukum, atau kriminalisasi dengan hukum. Masalah terkini di masa pemerintahan Joko Widodo, hukum digunakan untuk menyandera lawan-lawan kepentingan kekuasaan/politik dan kepentingan persaingan bisnis, sebagai contoh kasus Firli Bahuri dan Airlangga Hartarto. Dalam keadaan dan masalah sedemikian, maka satu-satunya harapan masyarakat pencari keadilan adalah pengadilan dan hakim yang memegang kekuasaan kehakiman secara bebas dan merdeka serta mengambil putusan berdasarkan irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" serta mengambil putusan diawali dengan sumpah jabatan sebagai hakim.

Adalah suatu keniscayaan hukum dijalankan harus dengan kekuasaan, akan tetapi jika kekuasaan dijalankan tanpa landasan hukum dipastikan akan terjadi anarki dan chaos dalam masyarakat sebagaimana dikatakan Thomas Hobbes, "Homo Homini Lupus, Bellum Omnium Contra Omnes", manusia bagai serigala bagi manusia lainnya, masing-masing saling membunuh. Dalam konteks pernyataan Hobbes tersebut, jelas sebagaimana sering dikemukakan Presiden Prabowo Subianto bahwa ikan busuk (selalu) dari kepalanya, yang harus dimaknai bahwa sumber dari keadaan dan masalah hukum yang menimbulkan anarki atau chaos adalah terletak pada pundak pemegang kekuasaan, dan kekuasaan tertinggi itu dipegang oleh seorang presiden baik sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara.

Pendapat masyarakat bahwa hukum tumpul ke atas akan tetapi tajam ke bawah merupakan bentuk sinisme masyarakat dan cermin dari kekecewaan masyarakat terhadap kinerja penegakan hukum yang bermuara di ruang sidang pengadilan. Contoh kasus Misnah, pencuri lima buah kakao untuk kebutuhan hidup sehari-hari dibandingkan dengan kasus pencurian urang rakyat oleh pelaku kejahatan kerah putih (white collar criminals) merupakan analogi yang tepat untuk menggambarkan sinisme masyarakat tersebut. Bagaimana solusi yang tepat dan sepatutnya dilaksanakan pemerintah, khususnya jajaran aparatur penegak hukum termasuk hakim, suatu hal yang menjadi pekerjaan rumah yang tidak kecil pengaruhnya selama masa lima tahun masa pemerintahan Presiden Prabowo.

Sejatinya keadaan dan masalah penegakan hukum yang tengah terjadi di Indonesia saat ini bersumber pada tiga kosakata penting yang harus selalu diingat dan dipahami serta dipraktikan aparatur hukum termasuk hakim . Ketiga kosakata dimaksud adalah, kecerdasan intelektual, kecerdasan nurani, dan kecerdasan spiritual. Dalam praktik peradilan pidana tiga jenis kecerdasan tersebut belum dipahami secara utuh oleh aparatur hukum sehingga tampak penyelesaian perkara sering tertunda-tunda ragu-ragu diselesaikan. Jikapun diselesaikan tidak lagi mempertimbangkan kecerdasan nurani dan spiritual, tetapi lebih fokus dan utama kecerdasaran intelektual seperti kasus Misnah.

Ketidakadilan yang tengah terjadi oleh penegakan hukum merupakan cermin dari tidak adanya lagi muruah hukum di hadapan masyarakat luas. Muruah hukum mencapai titik nadir manakala tiga jenis kecerdasan tersebut bukan hanya tidak seimbang, melainkan tidak lagi dipergunakan sebagaimana mestinya dan bahkan kecerdasan intelektual secara subjektif diutamakan tanpa mempertimbangkan kecerdasan nurani apalagi kecerdasan spiritual. Jika terjadi keadaan dan masalah muruah hukum sedemikian, maka kekhawatiiran tindakan anarki menjadi kenyataan dan tinggal menunggu munculnya revolusi sosial seperti terjadi pada masa Revolusi Prancis Abad 17.

(zik)

Read Entire Article
Patroli | Crypto | | |