loading...
Budi Rahman Hakim, Ph.D, Dosen Tasawuf Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Foto/Istimewa
Budi Rahman Hakim, Ph.D
Dosen Tasawuf Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
REFORMASI Polri kembali jadi sorotan publik. Kasus demi kasus yang mencederai integritas aparat menegaskan bahwa reformasi struktural belum menyentuh akar masalah. Kita sudah melihat perubahan lambang, seragam, slogan, hingga digitalisasi sistem pengawasan. Tapi pertanyaannya: apakah itu cukup mengubah perilaku?
Reformasi yang hanya berhenti di level institusi dan aturan sering kali hanya menghasilkan perubahan kosmetik — indah di permukaan, tapi rapuh di dalam. Yang dibutuhkan Polri hari ini bukan sekadar reformasi administratif, melainkan revolusi ruhani: perubahan dari dalam diri, dari cara berpikir dan merasakan, bukan sekadar dari cara bertindak.
Polisi bukan sekadar penegak hukum, tapi penjaga moral publik. Di sinilah saya memandang bahwa kecerdasan emosional dan spiritual (ESQ) harus menjadi inti reformasi Polri. Karena hukum tidak bisa ditegakkan oleh tangan yang kaku, melainkan oleh hati yang peka.
Baca Juga: Reformasi Polri, Terealisasi atau Sekadar Janji?
Daniel Goleman, pakar psikologi sosial yang memperkenalkan konsep emotional intelligence (EQ), menegaskan bahwa keberhasilan seseorang dalam dunia kerja tidak ditentukan IQ, tapi oleh kemampuan mengelola emosi, empati, dan kesadaran diri. EQ memungkinkan seseorang memahami situasi sosial, menahan reaksi destruktif, dan berkomunikasi dengan manusiawi.
Dalam konteks kepolisian, EQ berarti kemampuan untuk menegakkan hukum dengan nurani, mengedepankan dialog dibanding kekerasan, serta memiliki kesabaran untuk mendengar sebelum menindak. Polisi dengan EQ tinggi tidak mudah tersulut ego kuasa, tapi mampu menimbang rasa.
Polisi dan Kecerdasan Ruhani
Namun, EQ saja tidak cukup. Polisi juga membutuhkan kecerdasan ruhani — atau spiritual intelligence (SQ) — yakni kemampuan menemukan makna di balik tugas, menjadikan pekerjaan sebagai pengabdian, bukan semata profesi.
Psikiater Viktor Frankl dalam bukunya Man’s Search for Meaning menulis: manusia akan sanggup menanggung penderitaan apa pun selama ia memiliki makna yang dihayati. Makna memberi arah, bahkan di tengah tekanan dan godaan. Itulah dimensi ruhani yang saya maksud: kesadaran batin bahwa menjadi polisi berarti melayani kehidupan, bukan menguasainya.