Jokowi dan Jebakan Utang China

4 hours ago 5

loading...

Arjuna Putra Aldino T, Direktur Eksekutif Educational, Technology and Policy (EduTep) Indonesia. Foto/Dok. SindoNews

Arjuna Putra Aldino T
Direktur Eksekutif Educational, Technology and Policy (EduTep) Indonesia

MULANYA , di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah Indonesia memulai studi awal proyek kereta cepat rute Jakarta–Bandung–Surabaya dengan menggandeng Jepang untuk melakukan preliminary feasibility study melalui Japan International Cooperation Agency (JICA). Hasilnya, Jepang menawarkan pembiayaan jangka panjang dengan bunga 0,1% dengan meminta jaminan pemerintah.

Namun ketika Presiden Jokowi berkuasa pada 2014, China menawarkan pinjaman bunga 2% dari China Development Bank (CDB) tanpa jaminan pemerintah. China menawarkan model business to business yang berbasis konsorsium BUMN dimana proyek dikerjakan PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) yang di dalamnya terdiri dari struktur kepemilikan 60% PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) dan 40% China Railway International Co. Ltd. (CRI).

PSBI sendiri terdiri dari empat BUMN besar, dengan porsi kepemilikan saham 51,37% PT Kereta Api Indonesia (Persero) (KAI), 38,26% PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (WIKA), 8,30% PT Perkebunan Nusantara VIII (PTPN VIII) dan 2,37% PT Jasa Marga (Persero) Tbk. Dan akhirnya pemerintah Indonesia memilih model dan skema pembiayaan dari China dengan alasan yang cukup membius dan menjanjikan yaitu “tanpa membebani APBN”, seperti yang diungkapkan oleh Jokowi sendiri bahwa “Kita tidak ingin proyek strategis ini membebani APBN. Karena itu kita memilih skema business-to-business”, kata Jokowi, pada September 2015.

Menteri BUMN Rini Soemarno saat itu juga mengungkapkan dengan terang benderang bahwa “Proposal Jepang sudah lengkap, tapi mereka ingin jaminan. China tidak. Maka kita pilih yang lebih cepat dan fleksibel,” kata Rini Soemarno pada 28 September 2015.

Namun, ketika proyek mulai berjalan justru mengalami cost overrun (pembengkakan biaya) dari tahap awal 2015 sampai 2023. Hingga akhirnya menggerus APBN sekitar kurang lebih Rp7,5 triliun, dengan potensi tambahan Rp5-10 triliun lagi sampai 2030.

Dengan bunga 3,4% per tahun atas tambahan USD560 juta (Rp8-9 triliun), maka bunga tahunan tambahan bisa sekitar USD19 juta atau sekitar Rp300–400 miliar/tahun hanya untuk bagian overrun. Untuk pinjaman pokok USD4,5 miliar dengan bunga 2-3,4%, maka beban bunga tahunan bisa antara USD90-153 juta (Rp1,4-2,4 triliun) setiap tahun.

Artinya, proyek ini tidak sesuai dengan janji awalnya yang diklaim “tidak membebani APBN” malah justru menggerus APBN bahkan membebani hingga puluhan tahun. Jelas, proyek ini secara ekonomi tidaklah efisien bahkan cenderung merugikan Indonesia.

Read Entire Article
Patroli | Crypto | | |