loading...
Candra Fajri Ananda, Wakil Ketua Badan Supervisi OJK. Foto/Dok. SindoNews
Candra Fajri Ananda
Wakil Ketua Badan Supervisi OJK
DESENTRALISASI fiskal yang mulai diberlakukan pada tahun 2001 merupakan salah satu pilar utama dari reformasi tata kelola pemerintahan di Indonesia pasca reformasi 1998. Kebijakan ini ditandai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang kemudian disempurnakan melalui berbagai regulasi lanjutan.
Tujuan utama dari desentralisasi fiskal adalah untuk menciptakan keseimbangan dalam pembangunan ekonomi antarwilayah, memperluas partisipasi daerah dalam pengambilan keputusan, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik. Sebelum tahun 2001, hampir seluruh kebijakan fiskal seperti pengelolaan pendapatan, alokasi anggaran, dan perencanaan pembangunan berada di bawah kendali pemerintah pusat.
Kondisi tersebut membuat daerah-daerah dengan potensi ekonomi besar – misalnya daerah penghasil sumber daya alam seperti migas atau hasil pertanian unggulan – tidak memperoleh porsi pembiayaan pembangunan yang sepadan dengan kontribusi ekonominya. Ketimpangan alokasi fiskal inilah yang mendorong munculnya tuntutan akan kemandirian daerah.
Oleh sebab itu, desentralisasi fiskal diharapkan menjadi mekanisme baru yang memberikan ruang bagi daerah untuk mengatur keuangannya sendiri, mempercepat pembangunan lokal, dan secara bertahap mempersempit kesenjangan antar wilayah dalam hal kemakmuran dan kualitas hidup masyarakat.
Sejatinya, dalam perspektif historis, gagasan desentralisasi sebenarnya tidak hanya terkait dengan efisiensi ekonomi dan tata kelola pemerintahan, tetapi juga berakar pada dinamika politik dan sosial pasca kemerdekaan. Sejak awal 1950-an, beberapa daerah di Indonesia telah menunjukkan ketegangan hubungan dengan pemerintah pusat akibat ketimpangan dalam penguasaan dan distribusi sumber daya alam (SDA).
Daerah-daerah kaya SDA seperti Aceh, Papua, Kalimantan Timur, dan Riau merasa bahwa hasil bumi mereka dieksploitasi untuk kepentingan pembangunan nasional tanpa memberikan manfaat yang signifikan bagi masyarakat setempat. Ketidakadilan ini menciptakan rasa ketertinggalan struktural yang berujung pada tuntutan otonomi yang lebih luas, bahkan dalam beberapa kasus muncul keinginan untuk memisahkan diri dari NKRI.
Ironisnya, fakta empiris menunjukkan bahwa sebagian besar daerah penghasil SDA memiliki tingkat kemiskinan dan ketimpangan sosial yang tinggi, yang dikenal sebagai resource curse atau kutukan sumber daya alam. Fenomena tersebut memperlihatkan bahwa kekayaan sumber daya tidak otomatis menghasilkan kesejahteraan apabila tidak diimbangi dengan kebijakan fiskal yang adil, transparan, dan berpihak pada masyarakat lokal.
Ketimpangan dalam pengelolaan fiskal antara pusat dan daerah tidak hanya menghambat pemerataan pembangunan, tetapi juga dapat mengancam stabilitas politik dan kohesi nasional jika tidak segera diatasi melalui kebijakan desentralisasi yang efektif dan berkeadilan.
Pada kerangka desentralisasi, pemerintah pusat memperkenalkan berbagai instrumen fiskal yang dirancang untuk mengurangi ketimpangan antar daerah. Tiga instrumen utama yang diterapkan ialah Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH).