loading...
Firman Tendry Masengi, Advokat/Pendiri RECHT Institute (Research and Education Center for Humanitarian Transparancy Law). Foto/Dok. SindoNews
Firman Tendry Masengi
Advokat/Pendiri RECHT Institute (Research and Education Center for Humanitarian Transparancy Law)
PEMBERIAN rehabilitasi Presiden Prabowo Subianto kepada mantan Direktur Utama ASDP Ira Puspa Dewi yang telah dijatuhi hukuman dalam perkara korupsi terkait akuisisi PT Jembatan Nusantara, menjadi peristiwa hukum yang mengguncang fondasi sistem peradilan Indonesia. Langkah tersebut memicu polemik tajam. Antara pihak yang menyatakan bahwa kebijakan tersebut menguntungkan negara karena menghapus stigma yang dinilai tidak adil, dan pihak yang menuding bahwa keputusan tersebut melemahkan supremasi hukum serta membuka ruang impunitas.
Pertanyaan fundamental kemudian lahir: apakah pemberian rehabilitasi kepada seorang terpidana sebelum seluruh proses peradilan selesai, termasuk upaya Peninjauan Kembali (PK), dapat dibenarkan dalam kerangka negara hukum? Dan lebih jauh lagi, apakah rehabilitasi yang diberikan Presiden terhadap individu yang telah dinyatakan bersalah justru merusak sistem hukum itu sendiri?
Rehabilitasi dalam Perspektif Hukum Positif
Secara normatif, rehabilitasi bukanlah instrumen politis atau keputusan diskresi bebas. Pasal 97–99 KUHAP menegaskan bahwa rehabilitasi merupakan pemulihan hak seseorang berdasarkan putusan pengadilan yang menyatakan dirinya tidak bersalah atau tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Artinya, rehabilitasi merupakan konsekuensi yuridis dari putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht), bukan bentuk intervensi politik yang memodifikasi stigma tanpa membatalkan kesalahan materiil.
Di sinilah urgensi finalitas putusan PK menjadi penting. PK sebagai upaya hukum luar biasa memiliki potensi membatalkan atau mengubah putusan sebelumnya. Karena itu, status hukum seseorang belum benar-benar final sebelum putusan PK diselesaikan. Memberikan rehabilitasi sebelum PK berarti menempatkan keputusan eksekutif di atas proses yudisial, menciptakan risiko konflik kewenangan, dan menegasikan prinsip supremasi hukum.

















































